Jakarta–
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) rencananya akan dilaksanakan pada November mendatang. Agenda ini menjadi penting sebagai tolok ukur kematangan dalam berdemokrasi sekaligus menjadi momentum untuk refleksi keberlanjutan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebelumnya, wacana untuk pemilihan kepala daerah di level Gubernur untuk dipilih secara langsung oleh Presiden menuai pro dan kontra. Isu ini muncul setelah revisi UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) disahkan melalui UU No. 2 Tahun 2024.
Salah satu alasan yang menjadikan dasar supaya Gubernur dapat dipilih langsung oleh Presiden adalah penguatan soal konsep dekonsentrasi dimana pemerintah daerah di level Gubernur merupakan pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah memiliki napas yang sama dengan kebijakan pada pemerintah pusat. Dengan demikian, ekses terhadap kebijakan pengembangan daerah menjadi lebih terarah dan terukur.
Namun, apakan dengan diberikannya kewenangan bagi Presiden untuk secara langsung menunjuk Gubernur tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi? Dan apakah hal demikian tidak akan menumbuhkan kekhawatiran pada pemerintahan yang otoriter ?
Pilihan Rakyat
Munculnya wacana penunjukan langsung kepala daerah oleh Presiden secara mengingatkan kita pada dua hal. Pertama, soal memperluas kekuasaan. Keinginan pemerintah pusat untuk menunjuk langsung kepala daerah seakan-akan ingin mempraktikkan sistem pemerintahan yang otoritatif dengan mempercayakan orang-orang pilihan yang akan mengisi jabatan Gubernur. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan ruang yang besar atas perilaku jual-beli jabatan, nepotisme, korupsi yang terstruktur dan kekuasaan yang absolut. Jika mekanisme seperti ini dibiarkan, maka diperlukan upaya pengawasan yang ketat baik dari segi internal maupun secara kelembagaan.
Kedua, menolak prinsip demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang pada substansinya memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya menjadi tidak relevan dan legitimasi kekuasaan sepenuhnya menjadi tidak representatif pada kehendak rakyat itu sendiri. Sehingga, dikhawatirkan kepatuhan rakyat kepada pemimpinnya menjadi tidak beralasan dan bahkan dapat mengakibatkan pemerintahan yang tidak berdaulat (civil disobedience).
Perihal Perpu
Sampai saat ini, regulasi yang mengatur soal penunjukan langsung kepala daerah belum menemukan titik temu meskipun kompromi antara pemerintah dan DPR masih terus diupayakan melalui revisi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuannya, demi memenuhi Kekosongan hukum atas regulasi penunjukan langsung kepala daerah oleh Presiden. Bahkan, wacana untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi solusi alternatif lain apabila tidak terjadi kesepakatan antar pembentuk UU.
Padahal, secara prinsip Perpu hanya dapat diterbitkan apabila suatu negara dalam keadaan “kegentingan yang memaksa” (vide: Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mempersempit makna yang terkandung dalam frasa kegentingan yang memaksa tersebut melalui putusannya No. 138/PUU-VII/2009 dengan tiga kategori. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Jika kita cermati, sampai saat ini makna yang terkandung dalam putusan MK tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya suatu kegentingan sehingga menimbulkan terjadinya suatu kebutuhan hukum yang mendesak dalam menjalankan demokrasi pilkada.
Konsolidasi Bermakna
Wacana soal penunjukan langsung kepala daerah oleh Presiden sebaiknya perlu dilakukan konsolidasi substantif kepada masyarakat secara luas. Terlebih, mekanisme penunjukan langsung kepala daerah seperti ini merupakan hal yang baru dalam catatan sejarah sistem pemerintahan di Indonesia pasca terjadinya amandemen konstitusi.
Perlu diingatkan bahwa sebelumnya keinginan untuk menerapkan model penunjukan langsung kepala daerah seperti ini sempat terjadi pada era pemerintahan Presiden SBY dengan mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Namun, Perpu tersebut mendapat penolakan yang masif dari masyarakat sehingga akhirnya secara procedural dicabut kembali.
Untuk memitigasi kejadian serupa, pembentuk UU dalam merevisi UU Pemda maupun dalam menerbitkan Perpu wajib hukumnya untuk melibatkan masyarakat secara luas. Dengan demikian, kekhawatiran soal penolakan UU/Perpu tersebut menjadi sulit untuk dibatalkan bahkan dapat meminimalisasi terjadinya pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Lalu Hartawan Mandala Putra praktisi hukum di HMP & Associates Law Office
(mmu/mmu)