Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Legislatif Hong Kong, kepanjangan tangan pemerintah China, mengesahkan undang-undang (UU) keamanan nasional baru Selasa. Aturan tersebut akan menjatuhkan hukuman berat bagi mereka yang melanggar aturan baru kota otonomi khusus Beijing tersebut.
Pemimpin Eksekutif Hong Kong John Lee menyebut pengesahan ini merupakan sejarah bagi Hong Kong. UU ini akan resmi diberlakukan mulai Sabtu nanti, 23 Maret.
“Tanggung jawab konstitusional,” ujar Lee berulang-ulang merujuk narasi bahwa UU disahkan sebagai syarat UU Dasar sejak penyerahan dari Inggris ke China tahun 1997, dalam pengesahan kemarin, dikutip AFP, Rabu (20/3/2024)
Menurutnya UU ini akan menutup “kesenjangan legislatif” yang ditinggalkan oleh versi Beijing,yang menargetkan pemisahan diri, subversi, terorisme dan kolusi dengan kekuatan asing. “Momen bersejarah bagi Hong Kong,” tambahnya.
“Pemerintah kini dapat mengabdikan diri sepenuhnya pada pembangunan ekonomi,” jelasnya lagi dengan alasan perlunya stabilitas untuk menarik investor.
Sebanarnya UU Keamanan Nasional kali ini merupakan UU keamanan kedua di pusat keuangan dunia itu. UU tersebut juga dikenal dengan nama Pasal 23.
UU pertama muncul di 2020. Kala itu, demo besar-besaran bahkan terjadi dan meruntuhkan pasar keuangan kota itu, di mana 300 orang ditangkap, termasuk puluhan politisi, aktivis dan tokoh masyarakat.
Sama seperti sebelumnya, aturan tersebut dianggap sebagai senjata pemerintah untuk membungkam demokrasi Hong Kong. Dalam UU baru ini ada lima jenis kejahatan yang ditarget yakni makar, pemberontakan, sabotase yang membahayakan keamanan nasional, campur tangan eksternal, serta spionase dan pencurian rahasia negara.
Apa Isinya?
Secara rinci, pengkhianatan, pemberontakan, dan sabotase yang berkolusi dengan “kekuatan eksternal” dapat dihukum hingga penjara seumur hidup. Sedangkan spionase dan tindakan sabotase seperti serangan siber dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 20 tahun.
Bekerja dengan “kekuatan eksternal” mencakup pemerintah, perusahaan asing, dan organisasi internasional. Hukuman bahkan bisa ditambah dua hingga tiga tahun.
Undang-undang tersebut juga memperluas pelanggaran penghasutan yang ada hingga mencakup ujaran kebencian terhadap kepemimpinan Partai Komunis China. Ada peningkatan hukuman maksimum dari sebelumnya, menjadi 10 tahun penjara.
“Pelanggaran” dalam aturan era kolonial Inggris telah dihapuskan dalam beberapa tahun terakhir dengan “mengadili tindakan protes politik”. Untuk memperhitungkan “keadaan yang tidak terduga”, pemimpin Hong Kong dan kabinetnya juga diberi wewenang untuk membuat “pelanggaran baru yang dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara”.
UU baru ini disebut akan sejalan dengan UU tahun 2020. Mencakup pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing.
Berdasarkan UU baru, polisi dapat menahan tersangka hingga 16 hari sebelum menuntut mereka. Ini naik dari maksimal 48 jam saat ini.
Polisi juga dapat melarang tersangka bertemu pengacara dan membatasi pergerakan serta komunikasi mereka selama berbulan-bulan jika mereka diberikan jaminan. Beberapa prosedur praperadilan juga bisa dipangkas untuk mempercepat kasus tersebut.
“Itu berarti tersangka menghadapi serangkaian prosedur yang lebih ketat,” kata pakar hukum Simon Young dari Universitas Hong Kong.
Sebenarnya pengungkapan rahasia negara menjadi sorotan dalam pengesahan UU baru ini. Pengungkapan” “rahasia negara” dianggap melanggar hukum.
Cakupannya meliputi berbagai bidang. Mulai dari pengambilan kebijakan dan pertahanan nasional, hingga pembangunan ekonomi dan teknologi hingga diplomasi dan hubungan antara pemerintah Hong Kong dan Beijing.
“Konsep hukum China daratan tentang ‘keamanan nasional’ dan ‘rahasia negara’ langsung ke dalam undang-undang Hong Kong dengan cara yang sangat mengganggu masa depan kota tersebut,” kata Sarah Brooks dari Amnesty International.
“Undang-undang baru ini akan mempunyai dampak yang dramatis”, kata pakar hukum Michael Davis merujuk sistem China daratan yang kini mulai dipakai di Hong Kong menjadikan kota itu berubah dari wilayah yang “konstitusional liberal” ke rezim represif.
Inggris-AS Teriak
Sementara itu, Inggris dan Amerika Serikat (AS) meneriakkan kekhawatiran akan diketoknya UU keamanan negara itu. Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengatakan undang-undang tersebut akan “lebih merusak hak dan kebebasan yang dinikmati” di Hong Kong dan memiliki “implikasi yang luas” terhadap supremasi hukum dan independensi institusi.
“Definisi luas mengenai keamanan nasional dan campur tangan eksternal akan mempersulit mereka yang tinggal, bekerja, dan melakukan bisnis di Hong Kong,” kata Cameron dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, mengatakan kepada wartawan bahwa AS “terkejut dengan penyisiran tersebut”. Menurutnya UU itu ditafsirkan Washingtonsebagai ketentuan yang tidak jelas.
“Tindakan semacam ini berpotensi mempercepat ‘penutupan’ masyarakat Hong Kong yang dulunya terbuka,” katanya.
Artikel Selanjutnya
Serbu! Garuda Banting Harga Tiket Pesawat, JKT-Hong Kong PP Rp4,6 Juta
(sef/sef)